Di Balik Dusta
By:
Evie
Memangnya orang
sepertiku tidak boleh sekolah di sini? Memangnya cuma anak orang kaya aja yang
boleh sekolah di SMU terkenal? Memangnya aku tidak layak mendapat teman sebaik
Reva? Kenapa mereka selalu bersikap sinis terhadapku. Aku tidak pernah
melakukan hal yang membuat mereka jadi benci atau tidak suka padaku.
“Udahlah, Adit dan
Virni itu kan cs banget, cuekin aa kalo mereka lagi ngeledek kamu,” ujar Reva
saat melihat teman-teman sekelas mulai meledekku.
“Aku tahu, aku sadar
diri kok,” jawabku pelan.
“Jangan dimasukin ke
hati ya, nanti juga mereka capek sendiri,” hibur Reva.
Aku tersenyum tipis.
Dari ratusan anak yang bersekolah di sini cuma Reva yang baik hati. Beasiswa
yang kudapat dari orang tua-asuh akulah yang membuatku bisa sekolah. Ayahku
hanya penjaga rel kereta api sedang ibu tidak bekerja. Kalo bukan karena
kebaikan Pak Surya, sahabat ayah yang sudah sukses, mungkin aku dan kedua
adikku tidak bisa sekolah setinggi ini.
Kadang aku tidak kuat
mendengar ledekan teman-teman sekelas. Mereka selalu memanggilku Neng cewek
kampung atau Neng penjaga rel kereta. Keinginanku untuk belajar dan kebaikan
Reva lah yang membuatku bertahan melewati semua ini. Tidak jarang Reva harus
adu mulut jika sedang membelaku. Ia memang sahabat yang baik dan tak pernah
sekalipun malu berteman denganku. Meski cantik, kaya dan cukup poluler di
sekolah tapi ia sering mengajakku makan di kantin sekolah atau jalan ke mal.
Aku senang sekali berteman dengannya.
“Neng, nanti pulang
duluan aja ya, aku ada janji sama Ryan.”
“Iya, salam ya buat
Ryan.”
Aku memandang kagum
sosok di hadapanku ini. Sudah cantik, baik, pintar punya pacar ganteng dan baik
seperti Ryan pula. Ryan juga tidak sombong padaku jika kami bertemu, ia selalu
ramah dan baik. Mereka memang pasangan yang serasi.
***
Sudah tiga hari ini ibu
sakit. Walau sudah di bawa ke dokter tapi panas yang dideritanya tetap tidak
turun. Aku takut ibu terkena tipes. Persediaan uang di rumah semakin menipis.
Anjuran Bule Ratmi tetanggaku, ibu harus di bawa ke rumah sakit untuk
menghindari hal-hal yang membahayakan. Ayah sudah pusing mencari uang. Ia
berusaha untuk cari pinjaman dari kantor tapi tidak dapat karena potongan
hutang ayah belum selesai. Kedua adikku masih kecil, mereka belum bisa aku ajak
berunding untuk mengatasi masalah ini.
Satu-satunya jalan, aku
harus bekerja. Tapi kerja apa? Aku masih harus sekolah. Kucoba bertanya pada
toko-toko di pasar yang kulewati tiap pulang sekolah. Apakah mereka membutuhkan
karyawan tapi hasilnya nihil. Aku semakin bingung. Keadaan ibu semakin parah,
aku malu untuk pinjam ke tetangga karena udah banyak hutang keluargaku pada
mereka.
“Berapa hari ini kamu
sering melamun, ada apa Neng?” tanya Reva menyandarkanku dari lamunan.
“Eh, gak ada apa-apa,”
jawabku bohong.
“Cerita aja kali, siapa
tahu aku bisa bantu,” ujarnya seperti tidak percaya dengan jawabanku.
Aku tersenyum tipis.
Apa aku harus cerita pada Reva? Ah tidak! Sudah puluhan kali ia membantu
keluargaku. Minggu kemarin, ia baru membelikan baju seragam dan sepatu baru
untuk kedua adikku. Kalau cerita ia pasti akan membantu. Tidak boleh! Ia sudah
terlalu baik.
Siang yang panas, aku
dan Reva menunggu bus di halte depan sekolah. Biarpun ia kaya tapi tetap tidak
mau diantar jemput. Ia lebih suka naik bus ke sekolah.
“Neng, aku duluan ya!”
sserunya setelah melihat bus jurusannya datang.
“Hati-hati!” teriakku
melihatnya berlari mengejar bus.
Tiba-tiba mataku
tertuju pada amplop putih yang jatuh seiring dengan tubuh Reva yang loncat ke
dalam bus. Aku segera mendekati dan mengambilnya. Benar ini milik Reva karena
tertulis namanya di sana. Amplop cukup tebal itu dilem. Kulihat isinya ternyata
lembaran uang lima puluh ribuan yang lumayan banyak. Huh, untung saja jatuhnya
di dekatku bukan di atas bus. Segera kumasukkan uang itu ke dalam tas.
Panas ibu makin tinggi.
Kedua adikku mulai menangis. Mereka takut kehilangan ibu, sedang ayah hanya
terpekur menatap wajah ibu yang pucat pasi. Hatiku resah, apakah uang milik
Reva harus kugunakan untuk membawa ibu ke rumah sakit lalu nanti baru
kujelaskan bahwa aku meminjamnya. Tanpa pikir panjang aku segera menyuruh ayah
memapah tubuh ibu dan membawanya ke rumah sakit. Saat ayah tanya aku dapat uang
darimana, aku bilang pinjam dari teman.
Syukurlah, ibu tidak
terlambat ditolong. Kata dokter kalau sehari lagi ibu tidak dirawat mungkin nyawanya
sudah hilang. Lega sekali rasanya melihat ibu bisa lebih segar walaupun masih
lemah. Kecemasanku seminggu ini sedikit demi sedikit berangsur hilang.
***
“Duh Neng, aku lagi
bete nih!” seru Reva sesaat baru datang.
“Kenapa? Berantem sama
Ryan, ya?” godaku.
“Bukan, kemarin pulang
sekolah aku kecopetan.”
“Kecopetan? Di mana?
Apanya yang dicopet?” berondongku.
“Bukan dompet tapi uang
dalam amplop, tadinya uang itu mau aku bayarin buat pendaftaran kursus eh
dicopet dalam bus, apes deh!” keluhnya.
Uang dalam amplop?
Berarti uang yang kemarin aku temukan. Bukankah hari ini aku messti bilang
padanya kalau uang itu ada padaku dan aku pakai untuk berobat ibu. Tapi tadi
Reva bilang uang itu dicopet, apa berarti ia menganggap uang itu sudah hilang?
“Trus dimarahin sama
mama dong?” tanyaku memancing reaksinya.
“Gak terlalu sih, aku
dibilang sembrono taruh uang sembarangan, padahal naik angkutan umum,” ujarnya
setengah menggerutu.
“Kamu kesal gak sama
pencopetnya?”
“Kamu nanyanya aneh
deh! Ya kesel lah emang cari uang gampang. Mencuri itu kan dosa, biarin ajalah
mau marah juga gak bikin uang balik.”
“Kalo tiba-tiba
pencopet itu balikin uangnya gimana?”
“Neng... Neng, kamu tuh
lucu banget deh. Hari gini gitu loh! Mana ada tukang copet dengan rela hati mau
balikin barang yang sudah dicurinya,” serunya seraya menertawakan pertanyaanku.
Kutatap kembali
wajahnya yang terlihat santai. Aku yakin, buat keluarga Reva kehilangan uang
segitu tidak terlalu berarti. Tapi, walau bagaimanapun aku tidak ada bedanya
dengan pencopet. Uang Reva yang seharusnya aku kembalikan malah kupakai. Hatiku
gundah, perasaan bersalah mulai muncul dalam hatiku. Apakah aku harus terus
terang padanya? Tapi melihat Reva tidak terlalu risau atas kehilangan itu,
hatiku jadi ragu. Apa kubiarkan saja ia menganggap uang telah hilang?
“Neng, kamu kenapa sih
bengong terus?” tegur Reva sambil menyentil hidungku.
Aku tersenyum tipis
menanggapi gurauannya.
Setelah tiga hari
diopname akhirnya ibu diperbolehkan pulang. Seluruh uang milik Reva terpakai untuk
melunasi biaya pengobatan ibu.
“Neng, gimana kita
mengganti uang milik teman kamu itu?” tanya ayah setelah melihat ibu sudah
beristirahat.
“Teman Neng baik, yah!
Katanya kita bisa kembalikan kapan saja,” jawabku berbohong.
“Apa Reva lagi yang
menolong kita?”
“Bukan, Yah! Kita sudah
terlalu banyak ditolong reva. Neng malu untuk terus-terusan minta bantuan
darinya.”
“Iya juga, Reva itu
baik sekali. Bersyukurlah kamu punya teman seperti dia.” Kata-kata ayah
menghantam hatiku. Reva memang sangat baik, akulah bukan teman yang baik.
Kebaikannya kubalas dengan dusta. Harusnya aku jujur padanya dari awal. Aku
yakin ia pasti membantuku. Tapi nasi sudah jadi bubur, kalau aku ceritakan
padanya sekarang bisa jadi ia malah berprasangka buruk padaku.
Setiap melihat Reva aku
selalu ingat akan hal itu. Perasaan bersalah kian hari kian menggunung di hati.
Meski Reva nampaknya sudah melupakan peristiwa itu tapi tidak denganku. Melihat
kebaikannya, aku semakin terkungkung dengan perasaan berdosa. Apa yang harus kulakukan?
Perasaan itu akhirnya
membuatku takut untuk berdekatan dengannya. Sekarang aku lebih sering
menghindar dan menolak tiap kali ia mengajakku jalan atau bercanda seperti
biasanya. Aku takut ia bisa membaca kebogonganku. Aku takut ia marah padaku.
Aku takut ia benci padaku jika tahu akulah yang memakai uangnya.
“Sebenarnya aku salah
apa sama kamu, Neng?” tanyanya saat memaksaku makan bareng di kantin.
“Salah? Kamu gak punya
salah apa-apa sama aku,” jawabku heran.
“Udah beberapa minggu
ini sikap kamu berubah, kamu jarang ngobrol denganku, kamu sering nolak bila
aku ajak pergi, kamu larang aku main ke rumah kamu, apa aku melakukan tindakan
yang bikin kamu sakit hati?” tanyanya panjang lebar.
“Bukan... bukan itu,
kamu gak pernah punya salah apa-apa sama aku, cuma memang akhir-akhir ini aku
sedang sedikit gelisah,” ujarku gugup.
“Gelisah? Kenapa? Kamu
lagi jatuh cinta?” guraunya.
“Bukan, aku... aku...,”
lidahku kelu untuk berkata jujur tentang hal yang sebenarnya.
“Ya udah kalo belum
siap cerita, tapi yang penting bukan karena kau kan?”
Aku menggeleng lemah.
Duuh... Tuhan, kenapa kejujuran itu sangat mahal harganya. Sampai kapan aku
harus menanggung perasaan bersalah ini? Sampai kapan aku harus terus
berpura-pura tidak ada apa-apa di hadapannya? Maafkan aku, Reva. Aku tidak bisa
menjadi sahabat yang baik buat kamu. Sekali lagi maafkan aku.
***
(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 48 tahun VIII .
14 – 20 Desember 2009 . Hal 26)