Harusnya Aku...
By: Seti An Naruti
Widi terbangun
saat mendengar bunyi hapenya. Siapa yang sepagi ini berani mengusik tidurnya?
Padahal hari ini kan hari Minggu.
“Halo?” sahut Widi
tanpa semangat dengan mata tertutupnya.
“Widi, ini aku.”
Wisnu?! Rasa
kantuk Widi langsung menghilang begitu mendengar suara cowok itu.
***
Diva selingkuh?
Tega banget! Kurang apa sih Wisnu sebagai pacar? Nggak bersyukur tuh si Diva!
Widi memaki dalam hatinya.
Kemarin, pagi-pagi
sekali Wisnu mendatangi rumah Widi hanya untuk curhat tentang Diva yang
ketahuan selingkuh di depan matanya. Dan Widi seperti ikut merasakan kepedihan
yang dirasakan Wisnu. Kasian Wisnu.
“Hey!” Widi pun
tersadar dari lamunan.
“Ah, kamu lagi!”
gerutu Widi. Wajahnya berubah jutek saat melihat Dido muncul dihadapannya.
“Aku, kenapa?”
tanya Dido dengan wajah polosnya.
“Bosen! Kamu nggak
ada kerjaan lain selain gangguin aku?!”
“Sayangnya...
nggak ada tuh!”
“Uhh, dasar!”
Dido tertawa
senang melihat reaksi marah Widi.
“Ngelamunin apa
tadi? Kayaknya serius bener. Pasti ngelamunin Wisnu. Dia kan pangeran kamu.”
“Sok tau!” bantah
Widi dengan ketusnya.
“Tapi bener kan,
tebakan aku?”
“Nggak! Lagian
Wisnu tuh bukan pangeran aku. Dia pangeran milik orang lain.”
“Diva maksudnya?”
“Kok kamu tau?”
“Taulah. Wisnu
kan...,” Dido tak melanjutkan kata-katanya.
“Wisnu apa?”
“Lupain! Eh, udah
tau belom kalo pangeran kamu itu nggak masuk hari ini karena sakit.”
“Wisnu sakit? Masa
sih? Tau dari mana kamu?”
“Aku kan temen
sekelasnya. Dasar pikun!” kata Dido sambil menoyor kepala Widi lalu bergegas
melarikan diri sebelum Widi membalasnya.
Tapi Widi kali ini
nggak nafsu untuk membalas perlakuan usil Dido. Dia terlau terkejut mendengar
kabar sakitnya Wisnu. Kira-kira Wisnu sakit apa, ya?
***
“Ngapain kamu
bengong di situ?” tanya Dido saat menemukan Widi di depan gerbang SMA mereka.
“Bukannya cepetan pulang, malah berdiri kayak patung.”
Widi tak
menanggapi celotehan Dido. Dia tetap berkosentrasi menghubungi Wisnu. Tapi
nomor cowok itu dari tadi pagi sampai sekarang masih nggak aktif juga. Apa aku
harus tanya Dido tentang alamat rumah Wisnu?
“Kenapa? Mau
ngebesuk Wisnu tapi nggak tau di mana rumahnya?”ledek Dido seolah bisa membaca
pikiran Widi.
“Nggak usah sok
tau deh!” balas Widi ketus sambil menoyor kepala Dido lalu bergegas pergi. Widi
gengsi kalo harus minta tolong sama cowok nyebelin macam Dido!
“Mau aku anterin
ke rumahnya Wisnu?” tawaran Dido yang di luar dugaan itu berhasil membuat
langkah Widi terhenti.
***
“Kita sampai,”
kata Dido mengehentikan motornya lalu berjalan santai masuk ke dalam rumah itu.
Hingga membuat Widi bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya ini rumahnya Wisnu
atau rumahnya Dido, sih?
“Hei ngapain
bengong! Ayo masuk!” ajak Dido terpaksa menghampiri Widi yang terpaku di depan
pintu rumah. Lalu menggandeng tangan Widi untuk masuk bersamanya.
“Wisnu!” panggil
Dido keras disertai dengan ketukan pintu yang tak kalah kerasnya.
“Berisik banget
sih!” omel Widi lalu menoyor kepala Dido.
“Sebodoh amat!”
sahut Dido dengan cueknya segera membalas menoyor kepala Widi.
“Ih!” Widi
gregetan dengan Dido.
“Apa, ha?!”
tantang Dido membalas tatapan jutek Widi.
“Kalian?” pintu terbuka
dan Wisnu terkejut dengan kehadiran Widi dan Dido di depan kamarnya. “Kok
tumben barengan? Lagi akur nih, kok sampai gandengan segala,” goda Wisnu
tersenyum sendiri.
Widi langsung
menepis tangan Dido. Dia baru menyadari kalo dari tadi tangannya tak lepas dari
tangan Dido.
“Mau nyari
kesempatan pegang-pegang aku, ya?!” omel Widi.
“Ih, najis!” sahut
Dido nggak kalah ketus.
“Heh, ngapain kamu
di situ?! Pulang sana!” usir Widi merasa jengkel saat melihat Dido nyelonong
masuk ke dalam kamar lalu dengan santainya tiduran di kasur milik Wisnu.
“Lha, ini kan
rumahku. Ngapain harus kamu suruh pulang.”
“Ngarang!”
“Ah, bawel!”
“Kamu...,”
“Hei stop!” kata
Wisnu melerai pertengkaran antara Widi dan Dido. “Aku kira kalian udah baikan.
Kok masih bertengkar gini. Masuk Wid!” ajak Wisnu menyuruh Widi duduk di karpet
bersama dirinya.
“Kamu nggak nyesel
tuh. Dido emang gitu kelakuannya. Aku udah biasa. Lagian Dido juga sering kok
tidur di kamar aku.”
“Oya? Aku nggak
nyangka ternyata kamu seakrab itu sampai-sampai kamu ngebolehin dia nginep di
rumah kamu.”
“Ya iyalah akrab.
Dido kan sepupu aku.”
“Apa?!” seru Widi
kaget seolah tidak mempercayai pendengarannya.
“Oya kamu kan
belom tau kalo aku sepupuan ama Dido. Sori deh, aku nggak kepikiran buat ngasih
tau kamu.”
***
Hah, yang bener
aja masa mereka berdua sepupuan, keluh Widi tiada henti di dalam hatinya.
Mulanya dia berencana bertahan lama di rumah Wisnu. Tapi setelah mengetahui
kenyataan pahit kalo Wisnu dan Dido adalah saudara sepupu, membuat Widi nggak
nafsu lagi mengobrol lama dengan Wisnu. Selain itu dia juga nggak betah ngeliat
Dido lama-lama. Huh, bersama dengan Dido dalam satu ruangan hanya membuatnya
eneg. Lebih baik cepetan pulang ke rumah.
“Diva?!” seru Widi
tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya saat menemukan Diva tengah duduk di ruang
tamu rumahnya.
***
“Tolongin aku Wid,
aku nggak rela putus dari Wisnu. Aku masih cinta dia. Aku ngerti aku salah
karena berselingkuh. Tapi... aku nyesel! Aku khilaf! Aku minta kamu mau bantuin
aku untuk baikan sama Wisnu. Kamu sahabatnya dan Wisnu pasti mau ngedengerin
omongan kamu. Plis, tolongin aku Widi.”
Permintaan tolong
Diva yang bernada mengenaskan tadi siang membuat Widi kepikiran sampai-sampai
matanya sulit terpejam malam ini.
“Aku harus
bagaimana? Apa aku harus merelakan Wisnu kembali pada Diva?” tanya Widi pada
dirinya sendiri.
***
“Mau curhat apaan
sih? Tumben ngajakin ngobrol di taman,” tanya Wisnu.
“Bukan aku yang
mau ngobrol sama kamu.”
“Lha, terus
siapa?”
“Diva...,” kata
Widi bersamaan munculnya Diva di tengah-tengah mereka berdua. Membuat mata
Wisnu terbelalak tak percaya.
“Wisnu, aku tau
kamu masih cinta sama Diva. Karena putus sama dia sampai-sampai membuat kamu
jatuh sakit. Kalo kamu beneran cinta, kamu harus bisa memaafkan kekhilafan
Diva. Bukankah cinta itu memberi maaf seluas samudra? Berilah Diva kesempatan
kedua agar dia bisa memperbaiki kesalahannya,” kata Widi dengan bijak sambil
menyatukan tangan Wisnu dengan tangan Diva. Lalu dia pun pergi dengan luka di
hatinya. Kalo memang kebahagiaan Wisnu bersama Diva, Widi harus mau
merelakannya. Toh Wisnu tak akan pernah tau bahwa sebenarnya Widi menyimpan
cinta untuknya. Wisnu akan selalu menganggap dia sahabat. Hanya sahabat.
“Kamu mau apa?”
Widi buru-buru menyeka air matanya saat melihat Dido mendadak sudah di
hadapannya.
Tak ada jawaban
apa-apa dari Dido. Cowok itu hanya menatap tajam kepada Widi. Tatapan serius
yang tak pernah Widi lihat sebelumnya.
“Mau kamu apa,
sih?!” tanya Widi jengkel karena Dido menahan langkahnya dengan cara mencekal pergelangan
tangannya.
“Lepasin! Lepasin
aku! Aku...,”
Deg!
Widi berhenti
meronta. Jantung Widi serasa berhenti berdetak untuk sesaat karena secara
tiba-tiba Dido menarik tangannya kuat hingga membuatnya jatuh ke dalam pelukan
cowok itu.
“Aku tau kamu terluka
karena Wisnu. Aku tau kamu sangat menyukai Wisnu. Aku....,” Dido tak
melanjutkan kata-katanya karena mendengar Widi terisak.
“Harusnya aku yang
ada di sisi Wisnu. Harusnya aku yang ada di pelukannya. Harusnya aku yang dia
cintai. Karena aku selalu ada untuknya. Bukannya Diva.
Harusnya aku bukan
hanya sekedar sahabat untuknya...,” kata Widi penuh emosi. Kini tangisnya
benar-benar pecah dan membasahi seluruh kemeja seragam Dido.
Dido hanya diam
sambil terus mengelus-elus rambut Widi. Seolah ingin menenangkan.
“Harusnya aku yang
pantas kamu cintai sepenuh hati. Harusnya aku yang kamu rindukan dan kamu
harapkan cintanya. Bukannya Wisnu! Harusnya aku bukan hanya kamu anggap sebagai
musuh. Harusnya kamu tau bahwa sebenarnya aku selalu mengusikmu hanya untuk
mendapatkan perhatian lebih darimu. Harusnya aku... tak boleh memendam perasaan
suka ini padamu,” batin Dido.
***